Kete Kesu merupakan suatu desa wisata di kawasan Tana Toraja yang dikenal karena adat dan kehidupan tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan ini. Di dalam Kete Kesu terdapat peninggalan purbakala berupa kuburan batu yang diperkirakan berusia 500 tahun lebih. Di dalam kubur batu yang menyerupai sampan atau perahu tersebut, tersimpan sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia. Hampir semua kubur batu diletakkan menggantung di tebing atau gua. Selain itu, di beberapa tempat juga terlihat kuburan megah milik bangsawan yang telah meninggal dunia.
Berbicara mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik suku yang memiliki rumah panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan upacara adatnya yang melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini telah mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya, arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri yang pada hari ini banyak diminati oleh wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal yang nilai-nilainya masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja. Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan masih mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada di Nias.
Sekitar 50% dari total jumlah masyarakat Suku Toraja masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten tetangga seperti Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Mamasa sisanya banyak masyarakat yang berasal dari Suku Toraja yang kini telah menetap di kota-kota lainnya di Sulawesi dan tidak sedikit juga yang merantau keluar Sulawesi. Kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Toraja adalah Kristen. Sementara sebagian ada yang menganut agama Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal dengan Aluk To Dolo.
Berbicara mengenai kepercayaan animisme yang dimiliki Suku Toraja. Aluk To Dolo memiliki makna sebagai kesadaran bahwasannya keberadaan manusia hidup di bumi pada hakikatnya hanyalah untuk sementara. Prinsip ini ditanamkan sedemikian kuatnya yang mana pada akhirnya menjadi pondasi utama kepercayaan asli masyarakat Toraja. Sebagai penguat pemahamannya bahwasannya selama tidak ada orang yang bisa menahan matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun mutlak keberadaannya dan tidak bisa ditunda kedatangannya.
Secara historis banyak yang meyakini bahwa Suku Toraja berasal dari Teluk Tongkin yang berada di daratan cina. Seorang Anthtropolog bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal Sulawesi Selatan atau pribumi dengan pendatang dari teluk tongkin tersebut. Berawalnya akulturasi antara masyarakat pribumi dengan pendatang ini dari berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah yang dapat dikatakan cukup banyak di sekitar hulu sungai yang pada hari ini diperkirakan letak lokasinya berada di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina yang memang dikenal akan kebiasaannya bermigrasi segera membangun pemukiman di daerah tersebut untuk kemudian membangun sebuah peradaban baru.
Nama Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to riaja yang mana berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas mereka yang pada hari ini kita ketahui bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah kolonial belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909. Versi lain menyebutkan bahwasannya kata Toraja awal mulanya bernama toraya. Kata tersebut merupakan gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang dan “raya” yang berasal dari kata maraya yang berarti besar. Artinya jika digabungkan menjadi suatu padanan makna orang-orang besar atau bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda kehidupan lama-lama penyebutan nama Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara itu kata Tana yang berada di depan kata Toraja memiliki arti sebuah negeri. Sehingga pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau negeri tempat orang-orang besar berada.
Sebelum masuknya pengaruh kolonial Belanda dan kristenisasi, di Tana Toraja memiliki sebuah pakem yang cukup jelas mengenai identitas diri mereka sebagai sebuah kelompok. Suku Toraja yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki sebuah identitas pengenalan diri yang diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan satu sama lain tidak merasa sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa yang sama. Meskipun ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi dialek, hierarki sosial, dan macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.
Pemberian nama Toraja banyak diduga mulanya merupakan pemberian oleh suku bugis Sindengreng dan Luwu. Orang dari Suku Sindengreng menamakan penduduk daerah yang bermukim di daerah dataran tinggi dengan sebutan to riaja yang berarti “orang yang berdiam di pegunungan” sementara orang-orang yang berasal dari suku bugis luwu menyebutnya dengan to riajang yang memiliki arti “orang yang berdiam di sebelah barat”.